Kisah Nabi Nuh As - Nabi Nuh as terkenal dengan
kisah bahtera Nuh, saat bumi diliputi oleh banjir besar. Nabi Nuh a.s
mendapat gelar dari Allah dengan sebutan Abdussyakur yang artinya “hamba
(Allah) yang banyak bersyukur” [Al Israa' 17:3].
Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi Adam. Bunga-bunga
berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan tampak
tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan
hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali ini terulang secara berbeda.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh As, telah hidup lima orang saleh dari kakek-kakek kaum Nabi Nuh As.
Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama
mereka adalah Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr. Setelah kematian
mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka
menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. Kemudian
berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu
datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah
cucu-cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang
membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu
memiliki kekuatan khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia membisikkan kepada
manusia bahwa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang dapat
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga akhirnya manusia
menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang
terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan
terhadap berhala dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang
tidak pernah berubah ketika manusia mulai cenderung kepada syirik.
Dalam situasi seperti itu, kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia
akan kalah, serta akan meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang
yang teraniaya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Alhasil, kehidupan manusia semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim.
Situasi demikian ini pasti terjadi ketika manusia menyembah selain Allah
SWT, baik yang disembah itu berhala dari batu, anak sapi dari emas,
penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai
mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang menjamin
persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah
SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat
undang-undang bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada
seorang yang mengklaim, atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang
ketuhanan maka manusia akan binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka
sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai sebuah tragedi
yang dapat menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya dapat
merembet ke akal manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT
menciptakan manusia agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya
sebagai permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang
paling penting adalah kesadaran bahwa Allah SWT semata sebagai Pencipta,
dan selain-Nya adalah makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar
pertama yang harus ada sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka
bumi.
Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling ke selain Allah
SWT maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang mengalami
kemajuan secara materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan,
meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini
yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi
siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, karena ia pada akhirnya
akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain
Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran
manusia. Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran
mereka, serta tidak berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. " (QS.
al-A'raf: 96)
Demikianlah, bahwa kufur kepada Allah SWT atau syirik kepada-Nya akan
menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta meningkatnya
kefakiran, serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam
situasi seperti ini, Allah SWT mengutus Nabi Nuh As untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. Nabi Nuh As
adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi
kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya,Nabi Nuh As dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.
Nabi Nuh As membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak
kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia
bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan
bukan juga orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui
bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan
kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina.
Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan
kemampuan akal untuk mengubah kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh As memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh As
adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan
Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom.
Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya
pada manusia. Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka
diutus. Di antara mereka ada yang "mencari" Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh As.
Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk
atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya, serta
mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu,
Allah SWT berkata tentang Nabi Nuh As:
"Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur." (QS. al-Isra': 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh As keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut
kamu akan ditimpa azab hari yang besar. " (QS. al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh As meletakkan
hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana
hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian,
kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di
dalamnya terdapat siksaan yang besar.
Nabi Nuh As menjelaskan kepada kaumnya bahwa mustahil terdapat
selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian
kepada mereka, bahwa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba
waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nabi Nuh As menyampaikan
kepada mereka, bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia: Dia telah
menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, dan menganugerahi akal kepada
mereka. Manusia mendengarkan dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh As
cukup mengguncangkan jiwa mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang
saat itu di situ ada seorang yang tertidur dan engkau meng-goyang
tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan takut dan ia marah meskipun
engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di bumi mendengar dan merasakan ketakutan.
Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta ini yang dibawa oleh Nabi Nuh As. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh As,
kaumnya terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah,
orang-orang fakir, dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa
dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh As, sedangkan kelompok yang
kedua adalah kelompok orang-orang kaya, orang-orang kuat, dan para
penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh As dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh As. Mula-mula mereka menuduh bahwa Nabi Nuh As adalah manusia biasa seperti mereka:
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak
melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti
kami.'" (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: "Masyarakat yang menentang dakwahnya
adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al-Mala' karena
mereka seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh:
"Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa." Padahal Nabi Nuh As
juga mengatakan bahwa ia memang manusia biasa. Allah SWT mengutus
seorang rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh manusia.
Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah SWT mengutus
seorang rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh As. Mula-mula, rezim penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh As
akan mati dengan sendirinya, namun ketika mereka melihat bahwa
dakwahnya menarik perhatian orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan
pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh As
dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya dan mereka
berkata kepadanya: "Tiada yang mengikutimu selain orang-orang fakir dan
orang-orang lemah serta orang-orang hina."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar
kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan
ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina
dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu
memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa
kamu adalah orang-orang yang berdusta. " (QS. Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh As dan
para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan
dalih persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Dengarkan wahai
Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang
yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah
dan orang-orang yang fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan
orang-orang kaya di antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan
kami bersama mereka dalam satu dakwah (majelis)." Nabi Nuh As
mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la
mengetahui bahwa mereka menentang. Meskipun demikian, ia menjawabnya
dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak dapat
mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya namun
mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam rumahnya
di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan terusir
darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak dalam
rumah Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di
dalamnya. Allah SWT berfirman:
"Berkata Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti
yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi
rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu
menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai
kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang
tidak mengetahui.' Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, siapakah yang dapat
menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan
kamu mengambil pelajaran?' Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa):
'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku
tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan:
'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku mengatakan kepada
orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali Allah
tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui
apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar
termasuk orang-orang yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)
Nabi Nuh As mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan
logika para nabi yang mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari
kesombongan pribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh As
berkata kepada mereka bahwa Allah SWT telah memberinya agama, kenabian,
dan rahmat. Sedangkan mereka tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT
kepadanya. Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai
apa yang disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada
Tuhan selain Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia
memberitahukan kepada mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka
atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta dari mereka sehingga memberatkan
mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah
SWT. Allah lah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh As
menerangkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang
beriman kepada Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki
keterbatasan dan keterbatasan itu adalah tidak diberikannya hak baginya
untuk mengusir orang-orang yang beriman karena dua alasan. Bahwa mereka
akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka
bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman kepada Allah SWT, kemudian
seandainya ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di hadapan
Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas
keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka.
Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh As dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh As menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh As
kembali menyatakan bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar
wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan
kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang
merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya
kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu
gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga
memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni
kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian ulama
berargumentasi dari ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari pada
para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi Nuh As berkata kepada mereka: "Sesungguhnya orang-orang yang
kalian pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin
yang kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan
tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka.
Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka.
Dialah yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku
sendiri seandainya aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan kebaikan
kepada mereka."
Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi Nuh As. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi Nuh As dalam flrman-Nya:
"Mereka berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan
kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.' Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah yang
akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu
sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat
kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu,
sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. " (QS. Hud: 32-34)
Nabi Nuh As menambahkan bahwa mereka tersesat dari jalan Allah
SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka
memperoleh kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan
mereka serta keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:
"Karena Engkau telah menghukum saya tersesat..." (QS. al-A'raf: 16)
Secara zahir tampak bahwa makna ungkapan itu berarti Allahlah yang
menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahwa Allah SWT telah
memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta
pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan
al-Qadhariyah, al-Mu'tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa
keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya,
baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia
adalah pencipta perbuatannya. Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan
Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami
berpendapat bahwa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia
membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya [Pendapat ini adalah pendapat Imamiyah dan tidak dapat disamakan dengan pendapat kedua sekte tersebut].
Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai dengan arah
penciptaannya, baik pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan. Ini
termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan kebebasannya
kemudian Allah SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis
memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengerahkan jalan kesesatan itu
padanya, sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan
yang sama maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh As
semakin melebar, sehingga ketika argumentasi-argumentasi mereka
terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu yang pantas,
mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani mengejek Nabi
Allah.
"Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: 'Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata." (QS. al-A'raf: 60)
Nabi Nuh As menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.
"Nuh menjawab: 'Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi
aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu
amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku
mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-A'raf:
61-62)
Nabi Nuh As tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya,
waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah masa
yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya. Nabi Nuh As
berdakwah kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia
menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan
kekuasaan-Nya di dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk
menyembah Allah SWT, mereka lari darinya, dan setiap kali ia mengajak
mereka agar Allah SWT mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari
mereka di telinga-telinga mereka dan mereka menampakkan kesombongan di
depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Nuh As dalam firman-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam
dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian
sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan,
kemudian aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan
diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.'" (QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawaban kaumnya?
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan
telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah
kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya
yang amat besar. Dan mereka berkata: 'Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan
sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'" (QS.
Nuh: 21-24)
Nabi Nuh As tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia
tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. " (QS.
aPAnkabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh As
sangat sedih namun ia tidak sampai kehilangan harapan. la senantiasa
mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka. Namun kaumnya selalu
menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh As
sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak sampai berputus asa. la
tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak bahwa usia manusia
sebelum datangnya topan cukup panjang. Dan barangkali usia panjang bagi Nabi Nuh As merupakan mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh As
bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi.
Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan
mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh As berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la berkata:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi." (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh As membenarkan doanya dengan alasan:
"Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak
yang berbuat maksiat dan kafir. " (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
"Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman
di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena
itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka
kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang
lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang kafir, yaitu datangnya angin topan. Allah SWT memberitahu Nabi Nuh As,
bahwa ia akan membuat perahu ini dengan "pengawasan Kami dan wahyu
kami," yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya, serta sesuai
dengan pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nabi Nuh As:
"Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim
itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun kedudukan
mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang
Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh As
mulai menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa
tahun, kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya.
Akhirnya, jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.
Para mufasir berbeda pendapat tentang besarnya perahu itu, bentuknya,
masa pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan dengan
hal tersebut Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah bahwa pembahasan ini
tidak menarik bagiku karena ia merupakan hal-hal yang tidak perlu
diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan
manfaat yang sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi
yang menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui
hakikat perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada
kita tentang hal itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat,
berapa panjangnya atau lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui
selain tempat yang ditujunya setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan keterangan secara detail berkenaan dengan hal
tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan cerita dan
tujuannya yang penting. Nabi Nuh As mulai membangun perahu, lalu
orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat
perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak
terdapat sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar
wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang
memungkinkan bagi perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila!
Orang-orang kafir semakin tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh As.
Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh As tampak dalam masa
ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran.
Mereka menganggap bahwa dunia adalah milik mereka dan bahwa mereka akan
selalu mendapatkan keamanan dan bahwa siksa tidak akan terjadi. Namun
anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin topan
menjungkirbalikkan semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin
mengejek balik orang-orang kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya
berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: 'Jika kamu
mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana
kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan
ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang
kekal." (QS. Hud: 38-39)
Selesailah pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh As
bahwa jika ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya
angin topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat
untuk memanggang roti) yang ada di dalam rumah Nabi Nuh As. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu merupakan perintah bagi Nabi Nuh As untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh As, lalu Nabi Nuh As segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya. Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh As membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi Nuh As telah membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang yang berpasangan agar setiap
spesies binatang tidak punah dari muka bumi. Ini berarti bahwa angin
topan telah menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak demikian maka buat
apa ia harus mengangkut jenis binatang-binatang itu. Binatang-binatang
mulai menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya.
Jumlah orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:
"Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air,
Kami berfirman: 'Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing
binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang
terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang
beriman.' Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. " (QS. Hud:
40)
Istri Nabi Nuh As tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak ikut
menaiki perahu, dan salah satu anaknya menyembunyikan kekafirannya
dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh As, dan ia pun
tidak ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak beriman
sehingga mereka tidak turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin yang
mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata: "Terdapat delapan
puluh orang dari kaum Nabi Nuh As yang beriman kepadanya."
Air mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi. Tiada satu celah
pun di bumi kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit turunlah
hujan yang sangat deras yang belum pernah turun hujan dengan curah
seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu sesudahnya.
Lautan semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi.
Perut bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi
untuk pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air.
Allah SWT berfirman:
"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang
tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka
bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.
Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku.
(QS. al-Qamar: 11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui ketinggian pohon,
bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti dengan air.
Ketika mula-mula datang topan, Nabi Nuh As memanggil-manggil putranya. Putranya itu berdiri agak jauh darinya. Nabi Nuh As memanggilnya dan berkata:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS. Hud: 42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah." (QS. Hud: 43)
Nabi Nuh As kembali menyerunya:
"Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. " (QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh As dan anaknya.
"Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. " (QS. Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur'an al-Karim: Dan gelombang menjadi
penghalang antara keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dialog mereka. Nabi Nuh As
mencari, namun ia tidak mendapati anaknya. Ia tidak menemukan selain
gunung ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh As
tidak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT berkehendak
—sebagai rahmat dari-Nya— untuk menenggelamkan si anak jauh dari
penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah.
Anak Nabi Nuh As mengira bahwa gunung akan mencegahnya dari
kejaran air namun ia pun terkejar dan tenggelam. Angin topan terus
berlanjut dan terus membawa perahu Nabi Nuh As. Setelah berlalu
beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah
sehingga tiada kehidupan kecuali sebagian kayu yang darinya Nabi Nuh As
membuat perahu di mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga
berbagai binatang yang ikut bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi
kita untuk membayangkan kedahsyatan topan itu. Yang jelas, ia
menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar dengan mereka dalam
ombak yang laksana gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa terpisahnya
beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti sekarang adalah
sebagai akibat dari topan yang dahulu.
Topan yang dialami oleh Nabi Nuh As terus berlanjut dalam
beberapa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian
datanglah perintah Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar bumi
tetap tenang dan menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di
al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan
bahwa ia adalah gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah
Ilahi, bumi kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. Topan telah
menyucikan bumi dan membasuhnya. Allah SWT berfirman:
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan)
berhentilah,' dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan
bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan: 'Binasalah
orang-orang yang lalim. " (QS. Hud: 44)
Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali ke celah-celah
bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur
sepenuhnya. Dikatakan bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita
selama empat puluh tahun sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada
yang terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, yakni ia
berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan hari
Asyura' (hari kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh As berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa juga.
Dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang lalim, 'yakni kehancuran bagi
mereka. Topan menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya. Lenyaplah
peristiwa yang mengerikan dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah
pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi Nuh As. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh As
tidak mengetahui saat itu bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap
bahwa anaknya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan
diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri
percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh As
tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya.
Lalu bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT
berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: 'Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau
itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. " (QS.
Hud: 45)
Nabi Nuh As ingin berkata kepada Allah SWT bahwa anaknya termasuk
dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan untuk menyelamatkan
keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan kepada Nabi Nuh As keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu,
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan.'" (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi berkata —menukil dari guru-gurunya dari kalangan ulama— ini
adalah pendapat yang kami dukung: "Anaknya berada di sisinya (yakni
bersama Nabi Nuh As dan dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh As
tidak berkata kepada Tuhannya: "Sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku," kecuali karena ia memang menampakkan hal yang demikian
kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir
kemudian ia meminta agar sebagian mereka diselamatkan."
Anaknya menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nabi Nuh As
ilmu gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya
keadaan sebenarnya dari anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya agar
jangan sampai ia menjadi orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin
menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya beriman kemudian mati
bersama orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh As
bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia
bahwa anaknya bukan termasuk keluarganya karena ia tidak beriman kepada
Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia.
Anak seorang nabi adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti
Allah SWT dan nabi, dan bukan anaknya yang menentangnya, meskipun
berasal dari sulbinya. Jika demikian seorang mukmin harus menghindar
dari kekufuran. Dan di sini juga harus di teguhkan hubungan sesama
akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan
sesama mereka dibangun berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat
tinggal.
Nabi Nuh As memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat
kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk
turun dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah
SWT dan penjagaan-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau
dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui
(hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan
(tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk
orang-orang yang merugi. " (QS. Hud: 47) "Difirmankan: 'Hai Nuh,
turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas
umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.'" (QS. Hud:
48)
Nabi Nuh As turun dari perahunya dan ia melepaskan burung-burung
dan binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke bumi. Setelah
itu, orangorang mukmin juga tumn. Nabi Nuh As meletakkan dahinya ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah karena pengaruh topan. Nabi Nuh As
bangkit setelah salatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat
ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan
api dan duduk-duduk di sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di
larang di dalam perahu karena dikhawatirkan api akan menyentuh
kayu-kayunya dan membakarnya. Tak seorang pun di antara mereka yang
memakan makanan yang hangat selama masa topan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an tidak lagi menceritakan kisah Nabi Nuh As setelah topan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh As bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahwa Nabi Nuh As mewasiatkan kepada putra-putranya saat ia meninggal agar mereka hanya menyembah Allah SWT.
0 comments:
Post a Comment